Beranda | Artikel
Penjelasan Tentang Sifat Istiwa, Betis, Wajah Adalah Milik Allah
Minggu, 6 September 2020

PENJELASAN TENTANG SIFAT ISTIWA, BETIS, WAJAH ADALAH MILIK ALLAH. APAKAH TUBUH TERMASUK SIFAT ALLAH TA’ALA

Pertanyaan
Saya mendengar kalangan salafiyyin meyakini dengan makna literal tentang sifat Allah Ta’ala. Yaitu mereka beriman bahwa Allah berada di atas Arasy-Nya dan bahwa Dia memiliki tubuh, wajah, betis. Aku berlindung kepada Allah. Apakah hal tersebut benar?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama: Baik sekali jika anda menghubungi kami untuk mengenal hakikat aqidah kaum salafiyyin. Sehingga dapat mengenal apa yang mereka iman dalam bab sifat-sifat Allah Ta’ala serta mengetahui bantahan mereka atas tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada mereka oleh musuh-musuh mereka serta orang-orang yang bodoh di antara mereka.

Kedua: Prinsip kalangan salafiyyin dalam masalah nama-nama Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya adalah prinsip para pendahulu mereka dari kaum salaf umat ini, khususnya para shahabat yang mulia serta para tabiin yang terhormat, dengan kemudian prinsip ini menjadi pokok yang disepakati oleh kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu:

  1. Mereka menetapkan apa yang Allah Ta’ala tetapkan untuk dirinya dan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tanpa merubah (tahrif), menyerupakan (tamtsil) dan menggugurkan (ta’thil).
  2. Mereka menafikan apa yang Allah nafikan untuk diri-Nya dan apa yang dinafikan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
  3. Terkait dengan sifat yang tidak dinyatakan penetapannya (itsbat) dan penafiannya (nafy), maka mereka tidak berkomentar sebelum diketahui makna yang dimaksud. Jika maknanya ternyata rusak, maka mereka nafikan lafaz dan maknanya, jika maknanya benar, maka tetapkan maknanya tapi bukan lafaznya.

Ketiga: Kita akan praktekkan prinsip yang agung ini terkait dengan sifat-sifat yang anda sebutkan;

1. Allah Ta’ala telah menetapkan sifat ‘Bersemayam (istiwa) di atas Arasynya’  dalam banyak tempat dalam Al-Quran;

Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى 

“(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaha/20: 5]

ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ

Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. ” [Al-A’raf/7: 54.  Yunus/10: 3.  Ar-Ra’du/13: 2. Al-Furqan/25: 59.  As-Sajdah/32: 4. Al-Hadid/57: 4]

Istiwa (bersemayam) merupakan sifat fi’liyah (sifat perbuatan) bagi Allah Ta’ala. Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkannya sesuai dengan makna yang layak bagi-Nya, tanpa dirubah (tahrif) maknanya, sebagaimana yang dilakukan oleh ahli ta’wil yang merubah maknanya menjadi ‘menguasai‘ (istii’la)! Tidak juga diserupakan dengan bersemayamnya makhluk, karena sesungguhnya Allah tidak ada satupun yang menyerupai dzat-Nya dan tidak ada satupun yang menyerupai sifatnya.

Ucapan Imam Malik bin Anas Radhiyallahu anhu dalam masalah sifat yang mulia ini akan tetap menjadi kaidah bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam seluruh bab sifat. Meskipun pertanyaannya khusus tentang sifat istiwa yang sedang kita bicarakan ini. Beliau pernah ditanya tentang bersemayamnya Allah, bagaimana hakikatnya. Maka beliau menjawab,

الاستواء معلومٌ ، والكيف مجهولٌ ، والإيمان به واجبٌ ، والسؤال عنه بدعة.

Istiwa telah diketahui, caranya majhul (tidak diketahui), beriman dengannya adalah wajib, bertanya tentangnya adalah bid’ah

Riwayat Al-Laalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah (3/441), Baihaqi dalam Al-Asma wa Sifat (hal. 408) dishahihkan oleh Az-Zahabi, Syaikhul Islam dan Al-Hafiz Ibnu Hajar. Lihat Mukhtashar Al-Uluw (hal. 141), Majmu Fatawa (5/365), Fathul Bari (13/501). Ada beberapa redaksi yang berdekatan dengan makna yang sama.

Istiwa (bersemayam) telah diketahui, maksudnya telah diketahui maknanya dalam bahasa Arab. Sedangkan tata caranya tidak diketahui. Beriman kepadanya wajib. Bertanya tentangnya, maksudnya tentang caranya, merupakan bid’ah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Perkara istiwa di atas Arasy telah ditetapkan berdasarkan Al-Quran dan Sunnah serta kesepakatan pendahulu (salaf) umat ini serta para tokoh ulamanya. Bahkan dia telah ditetapkan dalam seluruh kitab yang diturunkan dan oleh seluruh nabi yang diutus.” (Majmu Fatawa, 2/188)

Ibnu Qayim rahimahullah berkata dalam rangka membantah orang yang hendak mengubah sifat istiwa atau hendak menggugurkannya, “Apa yang mereka nyatakan adalah batil dari empatpuluh dua sisi;

Salah satunya, bahwa kata istiwa dalam bahasa Arab yang Allah jadikan sebagai bahasa untuk menurunkan firman-Nya dan menyampaikannya kepada kita, terdiri dari dua macam ; Mutlak dan Muqayyad (terikat). Yang dimaksud mutlak adalah yang mengantarkan pada sebuah makna tanpa bantuan huruf lain. Seperti firman Allah Ta’ala,

وَلَمَّا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَاسْتَوٰىٓ

Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya” [ Al-Qasas/28: 14].

Yang ini artinya; Sempurna. Maka dikatakan استوى النبات (tumbuhan itu sempurna) dan استوى الطعام makanan telah matang.

Adapun yang bersifat muqayyad ada tiga macam;

Pertama, terikat dengan “إلى” seperti firman-Nya:

ثُمَّ اسْتَوٰٓى اِلَى السَّمَاۤءِ

[Al-Baqarah/2: 29]. Yang ini bermakna ‘tinggi’ dan ‘di atas’ berdasarkan ijmak kaum salaf.

Kedua, terikat dengan katan “على” seperti firman-Nya:

لِتَسْتَوٗا عَلٰى ظُهُوْرِهٖ

[Az-Zuhhruf/43 : 13]. Inipun maknanya adalah tinggi, di atas dan tegak, berdasarkan kesepatakan ahli bahasa.

Ketiga, disandingkan dengan huruf ‘و’ seperti ungkapan. استوى الماء الخشبة maksudnya adalah bahwa air sudah sejajar dengan kayu.

Inilah makna yang masuk akal berdasarkan ucapan mereka (dalam bahasa Arab). Tidak ada sama sekali yang bermakna ‘استولى‘ (menguasai). Tidak ada satupun dari ahli bahasa yang ucapannya dijadikan pedoman mengatakan demikian. Akan tetapi hal tersebut dikatakan oleh ahli tata bahasa (nahwu) di masa belakangan yang menempuh jalan kaum Mu’tazilah dan Jahmiyah. (Mukhtashar Ash-Shawa’iq, hal. 371-372)

2. Allah Ta’ala telah menetapkan bagi diri-Nya, sifat ‘الوجه’ (wajah), demikian pula Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menetapkannya demikian. Maka kaidah syariah disini berlaku; Yaitu kita menetapkan sifat Allah Ta’ala ini tanpa merubah maknanya bahwa dia merupakan ‘dzat’ dan juga tidak menyerupakannya, sehingga kita mengatakan bahwa wajahnya seperti wajah salah seorang dari makhluk-Nya, atau tidak boleh menggugurkannya sama sekali sebagai sifat. Dalil tentang sifat ini cukup kita ambil dari satu dari Al-Quran dan satu lagi dari Sunah.

a. Firman Allah Ta’ala,

وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ

[Ar-Rahman/55: 27]. “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

Abu Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata, Allah Azza wa Jalla berfirman,   وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman/55: 27). Dia telah mengabarkan bahwa diri-Nya memiliki wajah yang tidak akan binasa dan tidak akan hancur.” (Al-Ibanah, hal. 77)

Beliau juga berkata, “Siapa yang bertanya kepada kami, ‘Apakah kalian berpendapat bahwa Allah Ta’ala memiliki wajah?”  Maka dikatakan kepadanya, “Kami berkata demikian, berbeda dengan apa yang  dikatakan oleh ahli bid’ah. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Al-Ibanah, hal. 78-79)

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Semua yang berada di muka bumi, baik dari kalangan jin dan manusia, seluruhnya akan binasa, dan yang kekal tetaplah wajah tuhanmu wahai Muhammad (pemilik kebesaran dan kemuliaan). Kalimat ( ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ) merupakan na’at (sifat) dari kata ‘الوجه’ karena itu dia dibaca marfu‘ ‘ذو’ . Diriwayatkan bahwa dia dalam qiraat Abdullah dibaca ( ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ) yaitu sebagai sifat bagi bagi ‘الرب’ (Jami’ul Bayan, 27/134)

Apa yang dinisbatkan kepada Ibnu Masud radhiallahu anhu (dibaca ذي الجلال) tidaklah benar. Yang disepakati adalah bacaan marfu’.

Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi rahimahullah berkata, “Ibnu Amir membaca, ( تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ) dengan ‘و’ sedangkan yang lainnya membaca ( ذِي الْجَلَالِ ) dengan ‘ي’ sementara dalam tulisannya dengan ‘و’ . Adapan firman Allah Ta’ala, ( وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ) telah disepakati bacaannya dengan ‘و’ begitu penulisannya dengan ‘و‘ daam semua mushaf Utsmani. (Al-Wafi Fi Syarh Syatibiyah, hal. 366)

Ibnu Qoyim rahimahullah berkata, “Perhatikanlah, firman-Nya ‘ ( ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ) saat menyebutkan ‘الوجه’, sementara dibaca jar dalam firman-Nya ( تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (Ar-Rahman/55: 78). Maka ‘ذو’ menunjukkan bahwa ‘wajah’ dikaitkan dengan keagungan dan kemuliaan, ketika tujuannya hendak mengabarkannya. Sedangkan ‘ذي’ yang disandingkan dengan ‘kemuliaan dan keagungan’ di akhir surat tujuannya adalah menunjukkan dzat yang disebut, bukan namanya. Maka hendaknya hal ini diperhatikan.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq, hal. 409)

b. Imam Bukhari rahimahullah berkata, “Bab firman Allah Ta’ala, ‘ ( كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ ) Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya.” [Al-Qashash/28: 88]”

Kemudian beliau meriwayatkan hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu, dia berkata, ‘Ketika turun ayat berikut ”

 ( قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ )

Katakanlah: ” Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”  ( أَعُوذُ بِوَجْهِكَ ) Aku berlindung dengan wajah-Mu.” Lalu diturunkan lagi ayat kelanjutannya,

( أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ ) Atau dari bawah kakimu.” [Al-An’am/6: 65]

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ” ( أَعُوذُ بِوَجْهِكِ ) Aku berlindung dengan wajah-Mu.” Lalu diturunkan lagi ayat kelanjutannya, ( أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا) “atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan).”

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ” ( هذا أَيْسَرُ ) Ini perkaranya mudah.”

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, “Kami dan seluruh ulama kami, baik dari Hijaz, Tihama, Yaman, Irak, Syam, Mesir, mazhab kami adalah bahwa kami menetapkan bagi Allah apa yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya. Kami tetapkan hal itu dengan lisan kami dan kami benarkan dalam hati kami, tanpa menyerupai wajah Pencipta kami dengan wajah seorang pun dari kalangan makhluk. Maha suci Tuhan kami dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Maha suci Tuhan kami dari pendapat orang-orang yang tidak mempercayai adanya sifat Allah.” (Kitab Tauhid, 1/18)

3. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan sifat ‘الساق’ (betis). Maka kaidah syar’iah di sini adalah; Menetapkan sifat Allah tersebut tanpa merubah maknanya dengan makna ‘الشدة’ (bencana berat), tidak boleh menyerupakannya dengan makhluk, seperti kita serupakan dengan betis makhuk atau kita tiadakan sama sekali sifat tersebut.

Di antara dalil tentang sifat ini adaah:
Hadits Abu Said Al-Khudry, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

(فَيَكْشِفُ عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ )

“… Lalu Dia menyingkap betisnya, maka sujudlah seluruh orang beriman kepada-Nya…” (HR. Bukhari, no. 7001)

Ibnu Qoyim rahimahullah berkata, “Yang menetapkan hal tersebut sebagai sifat seperti kedua tangan atau jari, mereka tidak mengambilnya dari zahir Al-Quran, akan tetapi mereka menetapkannya dari hadits Abi Said Al-Khudry yang diriwayatkan muttafaq alaih, yaitu hadits tentang syafaat yang panjang, di dalamnya terdapat sabda beliau, “فيكشف الرب عن ساقه فيخرون له سجَّدًا  Lalu Dia menyingkap betisnya, maka sujudlah seluruh orang beriman kepada-Nya…” Siapa yang mengartikan ayat dengan hadits tersebut, mereka berkata bahwa firman Allah Ta’ala,

يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَّيُدْعَوْنَ اِلَى السُّجُوْدِ فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَۙ

Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak kuasa” [Al-Qalam/68: 42]

Sesuai dengan sabdanya, “… ( فيكشف عن ساقه فيخرون له سجدًا ).  Lalu Dia menyingkap betisnya, maka sujudlah seluruh orang beriman kepada-Nya…” Bahwa kata ‘ساق’ dinyatakan dalam bentuk nakirah (tidak disandingkan dengan lafaz ‘Allah’) adalah untuk menunjukkan keagungan dan kebesaran. Seakan hendak dikatakan, ‘(Hari itu) itu disingkap betis yang agung, yang keagungannya tidak ada yang menandingi dan menyerupainya. Mereka berkata bahwa memaknai kalimat ini dengan arti ‘bencana berat’ tidak dibenarkan dari satu sisi; yaitu karena dalam ungkapan sehari-hari, ungkapan dengan makna seperti itu (bencana berat)  dikatakan  كشفت الشدة عن القوم (Bencana telah hilang dari suatu kaum), bukan dengan kata ‘كُشف’ (disingkap), sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُمُ الْعَذَابَ اِذَا هُمْ يَنْكُثُوْنَ 

Maka tatkala Kami hilangkan azab itu dari mereka, dengan serta merta mereka memungkiri (janjinya).” [Az-Zukhruf/43: 50]

وَلَوْ رَحِمْنٰهُمْ وَكَشَفْنَا مَا بِهِمْ مِّنْ ضُرٍّ

Andaikata mereka Kami belas kasihani, dan Kami lenyapkan kemudharatan yang mereka alami.” [Al-Mukminun/23: 75]

Azab dan bencana adalah dihilangkan, bukan yang disingkap. Demikian pula disana terjadi kondisi yang berat dan terus terjadi kecuali setelah masuk surga. Sedangkan makna yang ini tidak diserukan sujud, akan tetapi mereka diserukan kepada yang lebih besar dari bencana tersebut.” (Ash-Shawaiq Al-Mursalah, 1/252-253)

4, Lafaz ‘الجسد‘ tidak ada penyebutannya bagi Allah Ta’ala, tidak dalam bentuk penetapan, tidak pula dalam bentuk peniadaan. Kaidah Ahlussunnah dalam masalah seperti ini; Tidak boleh disandingkan kepada Allah Ta’ala dan dinisbatkan kepadanya. Karena mensifati Allah dengan sesuatu tidak dibolehkan kecuali dengan dalil yang shahih berdasarkan Kitabullah dan sunah Nabinya shallallahu alaihi wa sallam. Demikian pula, tidak boleh dinafikan hanya karena tidak ada dalil yang menetapkannya. Akan tetapi hendaknya diperinci tentang hal tersebut; Jika maknanya batil dalam syariat, maka kita harus nafikan makna yang batil tersebut, juga dinafikan redaksinya yang bid’ah. Apabila maknanya benar, maka kita tetapkan makna yang benar dan hendaknya  kita gunakan lafaz syar’i yang menunjukkan hal tersebut, kecuali jika ada tuntutan dalam penggunaan lafaz yang bid’ah dengan disertai maknanya yang benar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Wajib diperhatikan dalam bab ini. Apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, maka kita tetapkan dan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya, maka kami nafikan. Kalimat yang tertera dalam nash, itulah yang dijadikan pedoman, baik dalam penetapan dan penafian. Maka kita tetapkan lafaz dan makna yang telah ditetapkan oleh nash dan menafikan lafaz dan makna yang telah dinafikan oleh nash. Adapun lafaz yang dipertentangkan dari kalangan generasi belakangan, seperti lafaz ‘الجسم’ (tubuh), ‘الجوهر’ (inti), ‘المتحيز’ (tersimpan), ‘الهجة’ (arah) dan semacamnya, maka kita tidak meniadakannya atau menetapkannya secara mutlak sebelum mengetahui maksud yang berkata. Jika yang dia maksud dengan meniadakan atau menetapkan memiliki makna yang benar sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka dibenarkan makna yang dimaksud dalam lafaz tersebut, akan tetapi seharusnya diucapkan dengan lafaz yang terdapat dalam nash, tidak menggunakan lafaz-lafaz bid’ah tersebut dan yang bersifat umum, kecuali jika dibutuhkan dengan tetap menjelaskan korelasi yang menjelaskan tujuannya. Kebutuhan misalnya jika menyampaikan kepada orang yang tidak dapat menangkap tujuannya dengan sempurna kecuali disampaikan dengan lafaz tersebut. Adapun jika makna yang dimaksud adalah batil, maka hendaknya makan tersebut dinafikan. Jika terkumpul antara makna yang hak dan makna yang batil, maka yang hak ditetapkan dan yang batil ditiadakan”.(Minhajus-Sunah, 2/554-555). Beliau telah menjelaskan panjang lebar saat membicarakan lafaz ‘الجسم’. Hendaknya dibaca, karena masalah ini penting.

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Masalah ‘الجسمية’ (tubuh) tidak terdapat dalam Al-Quran maupun Sunah, baik dalam bentuk penetapan atau peniadaan. Akan tetapi, terkait dengan lafaz tersebut kita katakan bahwa kami tidak menafikan atau menetapkan. Tidak kita katakan, tubuh yang bukan tubuh. Akan tetapi, terkait maknanya, maka hendaknya kita rinci dan bertanya kepada yang berkata, ‘Apa yang engkau maksud dengan ‘الجسم’? Apakah yang engkau maksud adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan memiliki sifat yang layak untuk-Nya, yang berbuat dengan kehendaknya, mennggenggam dan membuka? Jika itu yang engkau maksud, maka itu hak dan maknanya benar. Sebab Allah Ta’ala berdiri dengan sendirinya dan melakukan apa yang Dia kehendaki. Dia memiliki sifat yang layak dengan-Nya, dia mengambil, menggenggam dan membuka. Menggenggam seluruh langit dengan tangan-Nya dan menggerakkannya. Jika yang engkau maksudkan dengan ‘الجسم’ adalah sesuatu yang satu sama lain saling membutuhkan dan tidak dikatakan sempurna sebelum sempurnya anggota-anggotanya, maka hal itu tidak boleh bagi Allah, karena hal tersebut menunjukkan adanya kejadian dan ketersusunan. Ini perkara yang tidak boleh diyakini terhadap Allah Azza wa Jalla. (Syarh Al-Aqidah As-Safariniyah, hal. 18-19)

Kini engkau telah mengetahi wahai penanya, bahwa kaum salafi adalah orang yang paling berbahagia dengan Al-Quran dan Sunah. Mereka tidak meyakini sesuatu tentang dzat Tuhannya kecuali jika mereak mendapatkan dalil dari kedua rujukan yang bersumber dari wahyu. Kaidah mereka terhadap seluruh perkara yang mereka tetapkan bagi Allah Ta’ala, baik berupa nama, sifat dan perbuatan-Nya, adalah firman Allah Ta’ala, “ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya.” [Asy-Syura/42:11].

Bahkan mereka sepakat bahwa siapa yang menyerupai Allah Ta’ala dengan makhuknya, maka dia kafir. Hendaknya tidak menghiraukan orang yang terpedaya, hendaknya berpegang teguh dengan buhul yang kuat dari nash-nash wahyu, maka akidahmu akan selamat dan anda akan mulia berada dalam kelompok yang selamat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam penjelasan tentang akidah Ahlussunnah wal Jamaah, “Mereka tidak menafikan sifat yang telah Dia tetapkan untuk dirinya. Mereka tidak merubah ucapan dari tempatnya, mereka tidak mengingkari nama Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya, mereka tidak meneliti bagaima sifatnya, tidak mengumpamakan dengan sifat makhluknya. Karena Allah Ta’ala tidak ada  yang menyamai-Nya, sebanding dengan-Nya dan menandingi-Nya. Dia tidak boleh diqiyaskan dengan makhluk-Nya. Karena Allah Ta’ala lebih mengetahui terhadap diri-Nya dan terhadap selain-Nya. Dia yang paling benar ucapannya dan paling bagus ucapannya. (Majmu Fatawa, 3/130)

Wallahua’lam .
Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/22611-penjelasan-tentang-sifat-istiwa-betis-wajah-adalah-milik-allah.html